Rabu, 28 April 2010

Menguji Cinta Dan Keikhlasan

Hari ini sebelas tahun yang lalu, saya sedang menjalani perawatan
pengantin di Puri Ayu Graha Indorama Kuningan, sebagai persiapan pesta
pernikahan kami yang akan berlangsung tanggal 11 Oktober 1998.

Saat itu usia saya belum genap 24 th, dan seperti umumnya wanita
muda, rasanya persiapan “fisik” terasa lebih penting bagi saya, dari
pada pembekalan “mental” yang diberikan oleh Ibu saya.

Ah… betapa naifnya saya saat itu, menganggap bahwa saya sudah
kenal betul karakter calon suami saya hanya karena kami sudah berteman
lama sebelum memutuskan untuk menikah.

Sejak satu tahun sebelum menikah, setelah diadakannya pertemuan
antar dua keluarga inti kami, setiap saya hendak melangkahkan kaki
keluar rumah, Ibu selalu bertanya, “Yeni, sudah kasih tau Fahly kalau
mau pergi?”

Sungguh, saat pertanyaan itu selalu membuat saya sebal. “Kenapa
sih, Bu? Jadi suami
aja belum… kok ribet banget sih…” protes saya
gusar. “Karena semua pembelajaran perlu proses. Haram langkah seorang
istri keluar rumah tanpa izin suami. Yeni akan kaget nanti, dan pasti
akan sering lupa meminta izin, kalau baru menerapkannya setelah
menikah.”

Mengingat percakapan yang terjadi berulang kali dan sepanjang tahun
itu, sungguh saya sangat bersyukur memiliki seorang Ibu yang tidak
pernah putus asa mendidik putri bungsunya yang keras kepala ini, yang
saat itu sangat percaya bahwa pernikahan yang baik adalah pernikahan
modern yang menjunjung kesetaraan kedudukan antara suami dan istri.

Saat itu, “Suami ideal” bagi saya adalah suami yang bisa
berkomunikasi dengan baik, tegas, bisa menghargai saya, mencintai orang
tua dan keluarga saya, mau bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan
mendidik anak, bla bla bla… segala hal positif lainnya.

Setelah menikah, saya menemukan kenyataan bahwa pernikahan ternyata
tidak sesederhana anggapan saya sebelumnya, dan suami yang telah lama
saya kenal sebagai teman, ternyata tidak semudah itu dimengerti
karakternya.

Suami saya yang dulu sangat saya kagumi kemampuan berkomunikasinya
saat kami masih bersama-sama berkecimpung di organinasi kami
masing-masing di kampus, yang piawai dalam argumentasi dan mampu
menengahi banyak masalah pelik di organisasi kepemudaan, ternyata diam
seribu bahasa pada suatu saat, ketika saya membantahnya dengan
mengajukan argumentasi.

Padahal saya berharap kami akan berdiskusi untuk mencari jalan tengah dari permasalahan kami.

Hari demi hari berlalu, satu demi satu, kekurangan suami muncul di
depan mata saya. Saat itu, saya pun menjadi bingung… dan kecewa…

Di tahun-tahun awal pernikahan kami, kata adil dalam kamus saya
adalah satu-satu, aksi-reaksi, jika saya bisa maka kamu juga seharusnya
bisa, jika kamu tidak suka maka demikian juga saya… Dan pertanyaaan
yang sering muncul di kepala saya adalah :
“Mengapa seorang suami boleh
pergi begitu saja, sedangkan istri haram langkahnya tanpa izin suami?”.

Mengapa seorang suami pulang kerja bisa dengan leluasa pergi hang
out dulu, sedangkan istri harus buru-buru pulang untuk mengurus anak
dan rumah? Dan berbagai kata “Mengapa” bermunculan saat saya
mempelajari dengan setengah hati bagaimana menjadi istri shalihah,
sehingga yang saat itu muncul dalam pikiran saya adalah “betapa tidak
adilnya Islam pada wanita”… Astaghfirullah. .. Semoga Allah
mengampunkan prasangka buruk saya dulu…

“Yeni, jangan kamu lihat kekurangan suamimu… lihat kelebihannya saja…” nasehat Ibu kepada saya.

“Yeni, belajarlah untuk ikhlas. Ikhlas berarti kamu bisa menerima semua
kekurangan suami tanpa ada kata, ‘”tapi”. Jadikan pernikahan kamu
sebagai ibadah…” ucapan seorang sahabat wanita yang sudah saya anggap
kakak, mencoba mengetuk hati saya.

Tahun demi tahun kami lalui… Saya pun membuktikan bahwa berada di
lingkungan yang positif mempengaruhi kita untuk berpikiran positif
juga. Berada di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang
menjunjung tinggi mahligai pernikahan membuat saya tidak gampang
menyerah saat menemukan perbedaan prinsip dalam beberapa aspek
kehidupan kami.

Wejangan tak putus dari Ibu saya, yang selalu meminta saya
mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan suami, membuat mata saya
mulai terbuka, betapa saya pun tidak sempurna sebagai seorang pribadi,
istri dan ibu. Jadi pantaskah jika saya menuntut suami saya berakhlak
seperti Rasulullah jika saya sendiri tidak berakhlak seperti Ibu
Khadijah?

Sebagai pribadi, saya terkadang dominan, karena terbiasa pendapat
saya didengar dan dipertimbangkankan. Sebagai istri, saya masih kurang
mengabdi (jauh sekali jika dibandingkan dengan pengabdian Ibu saya
kepada Papa).

Sebagai ibu, di saat lelah saya terkadang menjadi kurang sabar.
Masih banyak lagi kekurangan dan kesalahan yang pernah saya perbuat,
yang mungkin jika saya tulis satu per satu akan membuat penuh lembaran
buku dosa saya. Namun suami saya menerima hal itu, dan tidak
melemparkan kritik sama sekali kecuali saya sudah keterlaluan.

Saya pun mulai belajar menjadi “paranormal” – istilah saya untuk
orang yang tau sesuatu tanpa diberitahu secara lisan dengan mulai
mempelajari reaksi suami saya – expresi wajah, sorot mata, garis mulut,
bahasa tubuhnya – dari berbagai kejadian.

Setelah mulai memahami, barulah saya menyadari, bahwa suami saya
tidak mau mendebat saya dalam diskusi justru karena cinta, karena dia
tidak ingin menyakiti hati saya dengan kata-kata… Tidak adanya
kritikan dan protes keras yang dia sampaikan atas sifat-sifat saya yang
mungkin tidak berkenan di hatinya belum tentu karena dia tidak apa-apa,
melainkan karena dia ingin saya berubah atas kesadaran saya sendiri,
bukan karena terpaksa.

Akhirnya saya mengerti, bahwa dengan diamnya, suami saya menunjukkan
toleransinya, dan dengan maaf yang dia berikan atas kesalahan-kesalahan
yang saya perbuat, suami saya menunjukkan cintanya…

Teman-teman pria di sekeliling saya dan teman-teman wanita
disekeliling suami saya pun menjadi penguji kekuatan cinta kami…
membuktikan bahwa cinta memang harus terus dipelihara, dipupuk dan
diperjuangkan. Berpulangnya putri tercinta kami ke rahmatullah pun
menjadi penguat cinta kami, sekaligus membuktikan bahwa kami memang
benar-benar saling membutuhkan, kami butuh saling menguatkan.. .

Saya mulai belajar untuk selalu memperbaiki diri, meskipun perlahan
dan rasanya tidak akan pernah sepenuhnya berhasil jika mengingat tidak
ada manusia yang sempurna.

But at least, saya terus berusaha, meski tidak mudah, dan dengan
diiringi doa, tanpa meributkan siapa yang salah, mulai dari diri saya
sendiri, dan tanpa menunggu apalagi meminta suami saya melakukan
perubahan terlebih dulu.

Saya percaya Allah maha membolak-balikkan hati. Insya Allah, suami
saya akan tergerak hatinya jika melihat saya sungguh-sungguh ingin
memperbaiki diri, dan bukan mustahil dia akan melakukan hal yang sama.

Saya pun mulai belajar melihat kelebihan suami saya, mengingat semua hal yang dulu membuat saya jatuh cinta.

Pada kegigihannya mendapatkan cinta saya, meskipun dia tidak piawai
menyatakannya dengan kata-kata pada usahanya memperjuangkan hubungan
cinta kami agar direstui kedua keluarga, pada rasa sayang dia kepada
orang tua dan keluarga saya, pada waktu yang selalu dia luangkan untuk
ikut kumpul bersama arisan keluarga saya, pada kemampuannya menjadi
teman dan sahabat bagi saya dan bagi setiap anggota keluarga besar
saya… pada usahanya yang tak kenal putus untuk membahagiakan saya
meskipun dengan caranya sendiri. Dan… masih banyak lagi.

Subhanallah. .. ternyata sungguh banyak kelebihan suami saya jika
saya berniat menggalinya, sehingga kekurangannya tidak lagi terasa
berarti…

Tiga tahun terakhir ini, saya mulai belajar melihat pernikahan saya
sebagai ibadah. Bagaimana memahami dan mengurus suami serta mendidik
anak merupakan ladang amal yang luas bagi seorang istri dan ibu.

Lewat perjalanan yang cukup panjang, meskipun bukan mendapatkan
pencerahan dari pengajian dan hanya merupakan visi saya, pribadi saya
mulai memahami arti Allah menciptakan manusia berpasangan. Bukan hanya
jenis kelamin, tapi juga sisi kelebihan dan kekurangannya. ..

Seperti dalam pernikahan kami, semua kekurangan suami saya lengkapi
dengan kelebihan saya, sebagaimana dia melengkapi banyak kekurangan
saya dengan kelebihannya. Terbayang oleh saya, jika suami saya mampu
mengerjakan semuanya sendiri, untuk apa lagi ada saya? Pasti akan
sangat menyedihkan menjadi orang yang tidak dibutuhkan.. .

Lewat introspeksi diri yang panjang pula – karena saya hanya
diberitahu tentang hadist mengenai haramnya langkah seorang istri tanpa
izin suami tanpa penjelasan mengapa hal tersebut diharamkan dan riwayat
diangkatnya ke surga seorang ibu yang memiliki putri yang tidak datang
saat beliau meninggal karena belum mendapat izin dari suami yang sedang
pergi keluar rumah – saya akhirnya mengambil hikmah pribadi betapa
Rasulullah menganggap pentingnya komunikasi antar suami istri.

Karena jika komunikasi suami dan istri sangat baik, suami istri
saling memahami dan terbiasa berkompromi, rasanya tidak akan mungkin
suami tidak memberikan izin langkah seorang istri selama disampaikan
secara santun, untuk tujuan yang baik dan tidak mengabaikan tugas istri
yang lebih utama.

Saya pun jadi berpikir, jika pergi keluar rumah tanpa izin suami
tidak diharamkan, akankah saya berusaha mati-matian untuk mengenal,
memahami dan berkomunikasi efektif dengan suami saya?

Mungkin tidak, karena toh tidak berdosa saya jika saya pergi tanpa
izinnya. Namun, karena hal tersebut diharamkan, yang berarti saya
berdosa jika pergi keluar rumah tanpa izin, pastinya saya akan berusaha
mencari jalan bagaimana agar halal langkah saya, agar tidak bertambah
buku dosa saya. Akibat usaha tersebut, suami saya pun benar-benar
menjadi belahan jiwa saya.

Akhirnya saya pun harus mengakui betapa adilnya Islam terhadap
wanita… Karena meskipun terasa berat tugas dan tanggung jawab seorang
istri di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat nanti
dia hanya menanggung dirinya sendiri.

Sedangkan meskipun terlihat enak menjadi suami di dunia dalam
pandangan masyarakat kita, namun di akhirat justru paling berat
tanggung jawabnya karena suami berkewajiban membimbing anggota
keluarganya – istri dan anak-anaknya – sehingga baik buruknya akhlak
istri dan anak-anak tidak lepas dari tanggung jawab suami pula.

Pun begitu banyaknya ladang amal bagi seorang wanita. Melahirkan
sebagai jihad, mengurus suami dan anak sebagai jihad… sedangkan
laki-laki harus pergi keluar untuk membela agama dulu baru terhitung
jihad …

Well, saya hidup di dunia hanya sementara kan? Jadi, mengapa seolah
hidup hanya mempermasalahkan beban berat seorang istri di dunia
sedangkan di depan mata terhampar ladang amal yang luas untuk bekal
hidup di akhirat kelak?

Mungkin sebenarnya perjuangan saya akan lebih sederhana jika saya
datang kepada ahli agama. Karena semua aturan dan bagaimana hubungan
yang baik dalam rumah tangga, sudah di riwayatkan melalui contoh-contoh
dalam hadist Rasulullah.

Namun karena segala keterbatasan diri saya, saya harus menempuh
jalan yang panjang, dengan jatuh bangun pula… Bagaimanapun sulitnya,
alhamdulillah, semua itu saya anggap sebagai sarana pendewasaan diri
saya…

Sejak tiga tahun yang lalu, Alhamdulillah, saya telah belajar untuk
ikhlas… Mengurus rumah tangga dan mendidik anak pun sudah menjadi
suatu kenikmatan bagi saya, semula hanya karena mengingat nilai
ibadahnya, dan akhirnya juga karena bahagia mengerjakan prosesnya dan
melihat hasilnya.

Dulu, jika ada tugas rumah tangga yang saya kerjakan yang seharusnya
merupakan porsi tugas suami, saya terkadang berkata, “Saya ikhlas kog
mengerjakannya, tapi kan seharusnya suami saya bisa mengerjakan itu…”
(yang benar kata sahabat wanita saya bahwa adanya kata Tapi itu
pertanda jauh di dalam lubuk hati saya belum ikhlas.

Saat ini, Alhamdulillah, jika ada yang bertanya, saya sudah bisa
hanya berkata, “Ya, saya ikhlas mengerjakannya. “, sambil tersenyum pula.

Tulisan ini saya persembahkan untukmu, Ahmad Fahly Riza, suami
tercinta, yang saya berikan lebih awal dengan niat sebagai hadiah ulang
tahun pernikahan kita yang ke 11 di tanggal 11 Oktober 2009.

Saya tulis ini sebagai perwujudan cinta dan rasa syukur saya
karena memiliki suami yang pemaaf dan penuh cinta… suami yang karena
karakternya membuat saya belajar banyak untuk dunia dan akhirat saya…

Meskipun mungkin kelak masih akan ada ujian dari Allah bagi
cinta kita – semoga Allah selalu menyelamatkan bahtera rumah tangga
kita – saat ini izinkan saya nyatakan pada dunia bahwa saya mencintaimu
seutuhnya, karena Allah semata…

Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi semua yang membaca,
terutama bagi yang akan menikah, bahwa memasuki ambang pernikahan bukan
dengan niat utama untuk ibadah akan menghasilkan banyak kekecewaan.. .

Pun, bagi yang sudah dan masih menikah, tidak ada kata terlambat
untuk mulai menjadikan pernikahan sebagai sarana menuju surga disamping
sebagai surga dunia…


Yeni Suryasusanti
sumber: eramuslim. com

0 komentar:

Posting Komentar

 
 

Designed by: Compartidísimo
Scrapping elements: Deliciouscraps©